2016 menjadi tahun yang begitu berat bagi Indonesia untuk bertahan menjaga kebhinnekaannya. Miris melihat keadaan warga Indonesia mencurigai dan tuduh satu sama lain. Adu domba di mana-mana, sosial media menjadi sarana menyembunyikan sifat pengecutnya. Suku, ras, dan agama selalu menjadi alat yang mudah untuk disulut api. . Warga negara seakan lupa garuda pancasila mencengkram kuat pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika. Entah apakah ini gejala manusia di Indonesia terlalu maniak atau gagal paham terhadap masalah bangsa.
Banyak kasus yang kecil menjadi besar karena kegagalan manusia memahami logika dan nalar yang sehat. Ambil contoh, kasus penistaan agama yang sebenarnya delik aduan biasa menjadi luar biasa karena manusia yang begitu maniak hingga tidak bisa berpikir secara sehat. Hukum sudah bekerja sesuai mekanisme tapi banyak manusia pemikirannya ‘diluar kotak’meminta untuk ini dan itu hingga susah membedakan antara manusia yang tidak bisa berlogika atau memang intrik politik yang kuat. Bangsa ini kehabisan energi satu bulan dimana media lebih suka membahas ini daripada capaian kebaikan keberhasilan Tax Amnesty atau IHSG yang mencapai angka 5000-5300an.
Belum selesai isu penistaan, berlanjut isu perpecahan suku dan etnis. Keturunan Cina dianggap sebagai neo komunisme. Presiden diserang isu bahwa beliau terlalu mesra dengan Tiongkok dan jargon revolusi mental dipermasalahkan karena dianggap ciri khas komunis Indonesia. Pola Pikir dan ujaran kebencian model seperti ini ditakutkan oleh beberapa ahli sosiologi akan menggiring Indonesia menjadi sebuah negara fasis. Kita bisa melihat dari Jerman dimana Hitler dengan Nazi-nya atau Stalin di Rusia bagaimana fasisme memberikan diskriminasi hebat dan tidak mengenal kata keberagaman. Hal itu yang mungkin terjadi di Indonesia dimana warga negara yang mengaku mayoritas mulai menekan minoritas. Dogma suku dan agama lagi-lagi menjadi senjata untuk menjadi radikal dan barbar.
Banyak permasalahan terkait SARA lainnya yang memang lahir karena ketidakmampuan manusia Indonesia untuk menjaga mulut dan tangannya dari sikap iri, dengki dan adu domba. Nalar dan logika tertutupi atas nama identitas agama. Bahkan ada kaum yang selalu ingin benar, seakan-akan segala perkataannya adalah wahyu Tuhan yang harus diikuti, yang tidak mengikutinya dianggap kafir dan model kaum liberal. Tidak mau coba ambil sudut pandang menjadi Indonesia dan Pancasila. Bung Karno mungkin saat ini berpikir bahwa bangsa Indonesia sedang melawan bangsanya sendiri. Bangsa ini masih terus berada di musim pancaroba dan berkata, “Bangsa ini masih tidak percaya sebagai bangsa dan masih tidak percaya satu sama lain padahal masyarakatnya adalah masyarakat gotong royong”.
Mental maniak dan radikal dipupuk oleh isu dan dikembangkan oleh media. Media di Indonesia sudah di luar kendali. Kapitalisme menyebabkan mereka menyiarkan kepentingan kelompok bukan kepentingan masyarakat akan kebenaran. Kapitalisme menyebabkan suguhan berdasarkan apa yang masyarakat inginkan, bukan apa yang masyarakat butuhkan. Media bukan sebagai penetralisir dan pencair kebenaran tetapi sebagai alat pengaruh. Perang pengaruh dalam media membuat masyarakat lagi-lagi harus menerima pil pahit sebagai objek politik. Ditambah gelombang globalisasi dimana media dibuka begitu luas membuat masyarakat dituntut untuk bisa literasi media. Jika tidak mampu maka yang akan terjadi adalah fenomena sekarang yang ada di Indonesia, perang saudara.
Revolusi mental yang digaungkan pemerintah juga terkesan lambat dan belum menampakkan hasil. Setidaknya urgensi masyarakat Indonesia adalah mental untuk mau berpikir logis dan budaya membaca. Literasi rendah menyebabkan banyak rakyat gagal paham. Literasi rendah menyebabkan masyarakat gagal merekonstruksi logika. Literasi rendah menyebabkan masyarakat banyak bicara tanpa data. Literasi rendah menyebabkan keputusan tercipta dari insting yang rendah dan tanpa pertimbangan matang. Rakyat harus dipupuk dengan jargon pesta, buku dan cinta. Manusia Indonesia perlu literasi agar menjadi Indonesia.
Menjadi Indonesia itu Sederhana. Jadilah masyarakat Indonesia yang tidak keamerika-amerikaan, keeropa-eropaan, kearab-araban, atau kechina-chinaan. Indonesia melahirkan Pancasila dan Pancasila adalah anak Indonesia. Menjadi Indonesia cukup mau belajar banyak, belajar tentang Indonesia tidak lain untuk Indonesia.
(Caesar Hergi P – Teknik Industri 2014)
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS