Aku bersama Mama pergi ke Solo, duduk di kelas ekonomi berhadapan dengan sebuah keluarga kecil, dari Tegal atau Pemalang mungkin, berdasarkan logatnya. Entahlah. Kedua putrinya cantik, manis, si kakak berumur enam tahun kurang lebih, sementara si bungsu, yang menjadi pusat perhatian kami berlima, yang menjadi pusat kebahagiaan kami berlima, berumur sekitar tiga sampai empat tahun.
Si Ibu dan Ayah terkadang tertawa memperhatikan tingkah si bungsu, terkadang kerepotan mengejar si bungsu yang berlari sepanjang koridor, terkadang berusaha keras mendiamkan mulut si bungsu yang tiada hentinya mengoceh sepanjang perjalanan. Di detik selanjutnya, dia bisa tertidur kelelahan tidak bersuara. Dan di detik lain, dia bisa mengoceh tiada henti. Segala aktivitas mereka berempat benar-benar menggambarkan kebahagiaan keluarga muda.
Sampai pada satu titik, si ibu sepertinya lelah mendengar ocehan si bungsu, dan berkata “Aduh, meneng (diam) to, Pak mana hapenya biar dipake si adek.” Sebuah gadget kecil berpindah dari saku sang ayah, menuju tangan si bungsu. Dan pada detik itu juga, aku berani bersumpah bahwa suasana benar-benar hening. Senyap. Hebatnya, seharusnya para penjual menulis hal itu juga di fitur-fitur yang ditawarkannya.
- Kamera 10 MP.
- Memori sampai 16 GB.
- Ram 2 GB.
- Bisa mendiamkan anak anda dalam sekejap.
Pasangan muda itu puas bisa menenangkan si bungsu. Yang terdengar sekarang hanyalah guncangan-guncangan kecil dari rel yang dilalui kereta api. Untuk sementara, semua merasa bahwa ini adalah suasana yang sempurna. Tenang. Pemandangan sawah di jendela. Bunyi mesin dari pendingin gerbong. Sekelompok ibu-ibu yang mengobrol pelan di kejauhan. Sampai aku merasa bahwa keheningan ini juga cukup menganggu. Apakah ini merupakan hal yang benar?
Kalau anak itu berhasil diam, apakah itu merupakan hal yang benar atau justru merupakan hal yang salah? Banyak orang tua saat ini merasa harus mendiamkan anak-anaknya yang banyak mengoceh, yang bertanya mengapa pohon itu bergerak cepat, atau mengapa kereta ini berhenti diam, atau siapa bapak berbadan kekar itu yang meminta karcis, atau buku apa yang dibaca oleh anak muda di depannya, atau lainnya.
Anak bungsu tadi masih diam. Tersihir dengan alat bercahaya di depannya. Aku masih memperhatikan.
Terkadang aku berpikir, dalam pemahaman dangkalku mengenai anak, bukankah seharusnya saat mereka kecil adalah saat otak mereka belajar dan berkembang? Padahal, bertanya adalah bukti bahwa seseorang berpikir. Padahal, bertanya adalah bentuk keingintahuan anak terhadap hal yang terjadi di dunia. Padahal, teori gravitasi lahir dari pertanyaan mengapa apel bisa jatuh sementara benda-benda langit tidak. Padahal, seorang seperti Habibie bisa seperti sekarang ini karena sang ayah selalu meladeni pertanyaan-pertanyaannya. Padahal, Robert Kiyosaki menyatakan bahwa kreativitas muncul dari peryatanyaan yang diajukan kepada diri sendiri. Padahal. Padahal. Padahal.
Lalu aku sadar, tidak semua orang tua paham bagaimana caranya menjadi orang tua.
Sekarang, anak-anak asik memegang tablet mereka di restoran. Mungkin karena sedari kecil memperhatikan sang ayah yang selalu sibuk mengurus pekerjaan di meja makan. Atau memperhatikan sang ibu yang tersenyum sendiri membaca pesan-pesan di grup arisannya. Lalu anak mulai berpikir bahwa itu merupakan hal yang umum untuk dilakukan. Meja makan kehilangan diskusi ringan. Meja makan kehilangan obrolan hangat keluarga. Meja makan kehilangan pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya dilontarkan dan dijawab.
Mana Habibie masa depan kita? Mungkin sedang sibuk menonton Upin Ipin yang disodorkan orang tuanya di tablet. Oh iya, aku lupa, masih ada si kakak yang sedari tadi dengan manis duduk diam.
Ah ternyata sama saja, dia sedari tadi diam karena bermain restoran virtual di gadget yang berukuran lebih besar.
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS