Opini

Peranan Mahasiswa ke Masyarakat

Peranan Mahasiswa ke Masyarakat

Jakarta, 12 Januari 1966. Suasana mencekam, kerusuhan dimana-mana, banyak orang yang menunjukkan diri, namun tak sedikit juga yang bersembunyi. Keadaan Negara Indonesia waktu itu sangat tidak stabil pasca terjadinya peristiwa 30 September 1965 yang menewaskan 7 Jenderal dan menimbulkan pergolakan di banyak daerah. Ketika gelombang demonstrasi menuntut pembubaran PKI semakin keras, pemerintah tidak segera mengambil tindakan. Kondisi ekonomi dan politik sudah sangat parah. Harga barang-barang naik sangat tinggi terutama BBM. Inflasi memuncak hingga menyentuh angka yang mustahil bisa dibayangkan di masa sekarang: mencapai lebih dari 100%. Bahkan pada akhir 1965, pemerintah melakukan pemotongan nilai uang dari 1000 rupiah menjadi 1 rupiah, sebuah pukulan besar bagi perbankan nasional karena otomatis akan menciutkan nilai modal nasabah menjadi 1/1000.

Ya, hari itu para demonstran (yang didominasi oleh mahasiswa) telah berkumpul dan bersiap memberikan tuntutan kepada pemerintah. Tuntutan yang kita kenal dengan nama “Tritura”, berisi tiga tuntutan yang memang berhulu pada kondisi Negara sepanjang tahun 1960’an. Tuntutan tersebut antara lain berbunyi :

  1. Bubarkan PKI
  2. Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI
  3. Turunkan harga barang

Tuntutan pertama dan kedua berisi keinginan akan revolusi politik dalam roda pemerintahan Negara. Namun, tuntutan ketigalah yang kemudian menyentuh kepentingan dan nurani orang banyak. Di hari itu pula, mahasiswa menjadi perwakilan unsur masyarakat dan menyerukan apa yang dirasakan oleh masyarakat waktu itu. Mahasiswa menuntut apa yang dituntut oleh masyarakat, dan menjadi tangan masyarakat untuk menyentuh tubuh pemerintah.

 

***

 

Dalam ajaran “Sangkan Paraning Dumadi” pada kisah pewayangan Brotoseno, di perjalanannya mencari ilmu dan makna kehidupan, bahwa sejauh manapun seseorang menempuh sebuah tempat, pada akhirnya ia akan kembali pada tempat asal muasalnya. Ketika Bima diperintahkan oleh gurunya, Resi Durna, untuk mencari Kayu Gung Susuhing Angin dan Banyu Perwita Suci, ia kemudian menemukan arti tertinggi dari perjalanan mencari ilmu bahwa kemampuan mengenali diri sendiri merupakan syarat masif untuk mendapatkan arti kehidupan. Singkatnya, seseorang harus kembali pada asal muasal untuk mendapatkan kesempurnaan dalam mencari ilmu.

Masyarakat adalah asal muasal dari mahasiswa, dan mestinya mahasiswa dapat kembali ke masyarakat untuk menerapkan ilmu yang didapatnya. Namun kondisi yang ada dari kiprah mahasiswa sekarang telah diperparah dengan kenyataan-kenyataan yang menyudutkan, sehingga perlu bagi saya untuk mengutip tulisan dari Dea Tantyo: Banyak yang membesar di kampus, tapi mengecil di masyarakat. Menjadi jagoan di kampus, tapi menjadi sandera di masyarakat. Banyak mahasiswa yang menjadi aktivis di kampus, banyak mengikuti kegiatan/organisasi yang terdapat di Universitas, namun gagal berkontribusi di masyarakat.

Persis seperti kiprah mahasiswa yang kerap ditemui di masa sekarang. Sebenarnya apabila kita mengacu pada prinsip akademis, tugas dari mahasiswa adalah belajar agar kelak dapat berkontribusi pada pembangunan di tengah-tengah masyarakat. Salah satu hal yang sering dilupakan adalah mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Mahasiswa kini telah menjadi kelompok dimensi yang memisahkan diri dari aktivitas masyarakat yang hidup di sekitarnya. Fenomena tersebut semakin membesar seiring dengan tujuan proses pendidikan yang juga semakin mengarah ke kutub pragmatisme, dimana suatu tindakan hanya dinilai dari kegunaan praktis, dan keuntungan menjadi pertimbangan utama dari suatu kegiatan. Padahal, peran mahasiswa harusnya sangatlah penting sebagai kaum intelektual yang mengawal isu-isu atau permasalahan yang ada di masyarakat. Selain itu, pengabdian Masyarakat menjadi salah satu butir Tri Dharma Perguruan Tinggi, dan otomatis menjadi salah satu fungsi mahasiswa sebagai subyek utama pendidikan.

Mahasiswa berbeda dengan siswa. Mahasiswa mengandung penggalan kata “maha” yang menunjukan apresiasi terhadap ke”besar”an. Kata tersebut memiliki sifat yang kurang lebih sama dengan “maha agung” dan “maha besar”, dua kata yang lebih merujuk pada ihwal tentang ketuhanan. Artinya, “maha” menjadi penegas kepemilikan unsur dan sifat yang mutlak. Seorang mahasiswa mestinya memiliki sifat kesiswaan yang telah “khatam” dan memiliki kemampuan untuk mengembangkan apa yang telah diserapnya. Namun kini ada benarnya apabila ilmu dapat dilihat sebagai paradigma “pertunjukan” barang kepunyaan seseorang yang menentukan megah atau tidaknya kualitas hidup seseorang (mahasiswa). Manusia diukur berdasarkan tingkatan berapa banyak ilmu yang telah didapat, bukan berdasarkan seberapa banyak ilmu yang telah diterapkan untuk orang-orang dan lingkungan di sekitarnya.

Seperti peristiwa awal 1966 tersebut, dimana Mahasiswa adalah kaum yang sama yang melakukan sebuah gerakan akbar yang terkonsentrasi setelah adanya peristiwa 30 september 1965, Mahasiswa merupakan garis sejarah yang tebal dan berjalan sejajar dengan liku perjuangan Bangsa Indonesia sesaat sebelum hingga pasca kemerdekaan. Hingga kini. Banyak peristiwa sejarah yang dipelopori oleh kaum mahasiswa/pelajar sebagai respon dari keadaan yang menekan, seperti Peristiwa Sumpah Pemuda 1928, Peristiwa Tritura 1966, Peristiwa Malari 1974, hingga Peristiwa Refomasi 1998.

Namun, mahasiswa sekarang (meskipun tak semuanya) adalah orang-orang yang telah dirongrong oleh fokus untuk berkuliah, belajar, mengerjakan tugas, berprestasi, hingga kebutuhan untuk lulus dalam jangka waktu yang mendesak. Kuliah tak ubahnya menjadi syarat persiapan kerja di atas lembar ijazah kelulusan, bukan sebagai pelatihan untuk kembali ke masyarakat. Atau dalam proses pembelajaran selama perkuliahan, Mahasiswa lebih banyak dilatih untuk memberikan sumbangan pada ilmu pengetahuan, bukan kepada masyarakat. Setidaknya kini zaman telah berbeda dengan beberapa dekade ke belakang dimana kaum pelajar merupakan inisiator perjuangan dan pelaksana sejarah. Di setiap pergerakan para pelajar terdahulu tersebut selalu terselip keinginan langsung dari masyarakat. Kaum pelajar memiliki kapasitas untuk mempengaruhi arus massa melalui ide-ide yang bermuara pada tindakan pembebasan dan penyelesaian masalah.

Mungkin sekarang kita begitu sering mendengar kata “pengabdian” masyarakat. Prof. Koesnadi Hardjasoemantri mungkin juga berfikir kala mencetuskan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 1971, bahwa peranan mahasiswa dalam berbagai kegiatan telah mmberikan bukti-bukti serta memperkaya akan arti dan peran mahasiswa sebagai tenaga kerja terdidik dalam berbagai aspek kegiatan pembangunan. Hal tersebut juga dipertegas dengan amanat Presiden Soeharto pada perayaan Dies Natalies UGM Bulan Februari 1971 kala itu, bahwa : “…………..agar setiap mahasiswa belajar di Desa dalam jangka waktu tertentu. tinggal dan bekerja membantu masyarakat pedesaan. Memecahkan persoalan pembangunan sebagai bahan dari kurikulumnya.

Sayangnya tidak semua Mahasiswa tertarik dengan pengabdian. Pengabdian menuntut kehadiran langsung ke tengah masyarakat serta membutuhkan dorongan yang lebih kuat untuk bergerak dan melakukan sesuatu daripada berfikir dan menganalisa suatu hal. Banyak Mahasiswa yang memperlakukan KKN bukan sebagai kesempatan  untuk melatih diri dalam memecahkan permasalahan yang sebenarnya di masyarakat, namun hanya sekedar formalitas untuk memenuhi kewajiban akademis. Di lingkup yang lebih sederhana, bahkan hubungan mahasiswa dengan masyarakat yang tinggal di sekitar kampus pun tak ubahnya seperti rantai ekonomi yang berputar dalam poros yang tetap. Keduanya menunjukkan ruang kosmis yang sempit, nyaris tak ada perbincangan, keakraban atau guyonan. Masyarakat menyewakan tempat tinggal, menyediakan warung untuk makan sehari-hari, dan menyediakan barang dan jasa lain yang dibutuhkan mahasiswa. Singkatnya, mahasiswa hanya cukup datang, tinggal, membayar, dan berkuliah. Banyak mahasiswa yang masih buta sosial terhadap kondisi masyarakat di sekitarnya.

Peran mahasiswa sebagai “harapan” suara-suara masyarakat mulai terkikis justru di masa ketika tuntutan terhadap perubahan keadaan sosial-ekonomi dapat dengan mudah dilakukan melalui macam-macam opsi dan media, dan pergolakan dengan kekerasan telah menjadi hal tabu dan using. Seharusnya, mahasiswa bisa lebih mudah mengenali dinamika permasalahan dan isu yang terdapat di tengah-tengah masyarakat sehingga “pengabdian” bukan hanya menjadi kata yang bisa sembarang diucapkan dengan bebas, yang seringkali muncul di setiap relasi antara mahasiswa-masyarakat yang begitu terbatas.

Kita tak mungkin mengulang sejarah atau meniru persis apa yang telah dilakukan mahasiswa di masa lalu dalam simbol perwakilannya terhadap masyarakat. Namun, dimulai dengan hal-hal yang sederhana, seperti lebih mengenali dinamika dan hiruk pikuk masyarakat di sekitar kita atau dengan lebih peka terhadap isu/permasalahan yang tengah melanda serta tergerak untuk mencoba menyumbangkan pikiran & tenaga untuk menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan kapasitas Mahasiswa. Dengan begitu, mahasiswa dapat menjadi lakon dalam sebuah proses sosial yang luar biasa untuk menerapkan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi di Indonesia.

 

***

Oleh: Tegar Satriani – S1 Teknik PWK 2013

Click to add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

More in Opini

Pemira Himpunan FT 2021

adminOctober 28, 2021

Ternyata Begini Kalau Menjadi Mahasiswa Baru di Masa Pandemi

adminSeptember 1, 2021

Akses All Network Permudah Kegiatan Belajar Mengajar

adminMay 4, 2021

Hybrid Learning Setelah Kulon Tiga Semester

adminApril 30, 2021

AKSI TERORISME DI INDONESIA BELUM SELESAI

adminApril 28, 2021

Universitas Diponegoro Menggagas Hybrid Learning Semester Genap 2020/2021

adminApril 4, 2021