Stereotip tentang larangan perempuan untuk berkarir, untuk tidak perlu menuntut ilmu hingga jenjang tinggi, untuk hanya belajar mengurus rumah dan anak, dan sebagainya memang masih cukup sering kita dengar. Hal ini yang seringkali disebut sebagai contoh-contoh pelestarian budaya patriarki.
Kali ini, mari melihat hal tersebut dari sudut pandang lain. Saya seorang muslim, dan Islam bagi saya bukan sekedar agama yang hanya mengurusi perkara ritual. Lebih dari itu, Islam menyediakan sebuah sistem kehidupan yang lengkap mengatur manusia mulai dari cara memakai sendal sampai mengelola ekonomi sebuah negara.
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (Laki-laki) atas sebagian yang lain (Wanita), dan karena mereka (Laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (TQS an-Nisa’: 34)
Tidak dikatakan di sana, “Kaum laki-laki adalah sadah (Pemimpin) bagi kaum perempuan.” Namun, Allah berfirman dengan “qawwamuna (Para pemimpin) bagi kaum perempuan”. Kepemimpinan di sini mencakup pengayoman, penjagaan, pemeliharaan, serta mengerahkan usaha untuk melindungi dan mengayomi. Kira-kira demikian yang disampaikan Prof. Dr. Shalah Shawi.
Jika dikatakan bahwa yang berhak mencari nafkah, yang berhak memutuskan perkara dalam sebuah rumah tangga, yang berhak melindungi keluarga adalah sebuah ketinggian derajat, maka mungkin laki-laki memang lebih mulia dari wanita. Demikianlah yang dituntut orang-orang yang menganut paham kesetaraan gender dan anti patriarki.
Namun, jika kita lihat secara jernih, perkara-perkara tersebut hanya tentang pembagian tugas. Rata-rata, laki-laki diberikan fisik yang lebih kuat karena secara fitrah mereka ditugaskan untuk bekerja dan melindungi orang lain, terutama wanita dan anak-anak. Dan wanita diberikan fisik yang mampu mengandung dan memberi asupan makanan bagi bayi yang dikandung, kemudian ia juga yang diberi kelemah-lembutan dan kesabaran dalam menumbuh-kembangkan anak.
Laki-laki memiliki emosi yang cenderung lebih stabil, karena mereka tidak mengalami perubahan tingkat hormon yang memengaruhi psikologis sebagaimana perempuan ketika sedang dalam masa menstruasi. Perempuan lebih teratur dan teliti dalam mengorganisir, otak wanita lebih seimbang dan intuisi mereka lebih tajam. Sekali lagi, ini bukan berarti salah satu gender lebih baik dari yang lainnya. Hanya sekedar penanda dan faktor yang mendukung dalam pembagian tugas bagi manusia.
Dan lagi-lagi ini adalah sesuatu yang alamiah, ini adalah fitrah.
Masing-masing tentu memiliki kelebihan dan kekurangan, maka dari itu masing-masing juga memiliki peran yang saling dukung dan melengkapi. Perkara dalam pembagian tugasnya seorang laki-laki dan perempuan saling berbagi, itu adalah kebaikan sesuai kebutuhan mereka. Tidak salah tentu seorang laki-laki yang membantu mengurus rumah dan isinya, memasak, atau merawat anak-anak. Dan tidak salah juga seorang wanita yang berkarir selama atas seizin suaminya jika sudah berumah tangga.
Laki-laki yang baik bisa dikatakan adalah mereka yang percaya dan memberikan peluang bagi pasangannya dalam menentukan keputusan dalam rumah tangga. Dan perempuan yang baik bisa dikatakan adalah mereka yang percaya dan mendukung penuh pasangannya dalam memimpin dan mengayomi keluarga. Semua kembali kepada pribadi masing-masing, kembali kepada sudut pandang dan komunikasi yang baik, serta kesamaan visi dan pedoman.
Perihal pendidikan, apakah tingkatan tingginya secara mutlak melambangkan kelebihan satu dibanding yang lainnya? Tidak. Kecenderungan dan stereotip yang berkembang adalah tidak sewajarnya seorang wanita berpendidikan lebih tinggi dari laki-laki. Namun tidak demikian. Manusia membuat pilihan dengan pertimbangan-pertimbangan kebutuhan dan perannya masing-masing. Seorang laki-laki yang memutuskan berhenti sekolah formal di tingkat SMA atau Strata 1 mungkin mencukupkan pendidikannya karena mereka punya tanggung jawab untuk membantu orangtua atau menafkahi keluarga. Dan seorang perempuan yang berpendidikan tinggi hingga memperoleh gelar master atau doktor mungkin memang berorientasi pada akademik dan pendalaman bidang keilmuannya. Apakah bisa dikatakan yang satu lebih baik dari lainnya? Tidak. Keduanya juga tidak saling menghalangi. Penerimaan dan pemahaman yang baik adalah kuncinya.
Lantas apa yang menjadikan seorang laki-laki lebih baik dari wanita, atau sebaliknya, wanita lebih baik dari laki-laki? Bukan yang mampu mencari nafkah sebanyak-banyaknya hingga makmur dan terjamin kehidupan keluarganya. Atau yang mampu mengatur dan mengurus rumah dengan baik, membesarkan dan mendidik anak hingga menjadi yang terbaik di antara seusianya.
Yang lebih baik, lebih mulia, dan lebih tinggi derajatnya, terlepas dari segala pembeda di mata manusia, ialah yang paling bertakwa di mata Allah—seadil-adil penilai, karena Dia yang Maha Mengetahui.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (TQS al-Hujurat: 13)
Irfanuddin Faishol
S1 Teknik Sipil
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS