Semarang, Momentum — “Imajinasimu terlalu berlebihan.” ucap Rektor USU. Setelah itu pers mahasiswa Universitas Sumatera Utara dibekukan dengan pemecatan 18 staff.
Menilik kasus pembekuan Pers Mahasiswa SUARA USU menurut saya Bapak Runtung Sitepu terlalu cepat mengambil sebuah keputusan yang masih bisa dikaji lebih dalam lagi. Pembekuan dan pemecatan tersebut didasarkan karena adanya unsur pornografi dalam cerpen “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku Didekatnya”.
Cerpen dan Kebebasan Berekspresi
Cerpen adalah bentuk kebebasan berekspresi dan kebebasan berakademis. Dalam cerpen yang diunggah tanggal 12 Maret 2019 merupakan hak bebas berekspresi dari sang penulis. Penulis cerpen sendiri ingin mengangkat masalah toleransi kaum minoritas di Indonesia dan bukan ingin menyorot perihal mengajak pembaca untuk mendukung LGBT maupun konteks pornografi.
Sedangkan pornografi merupakan penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksualitas manusia secara terbuka dengan tujuan membangkitkan berahi. Sedangkan dalam Surat Keterangan yang dikeluarkan Rektor USU sendiri tidak menjelaskan bagian mana atau kalimat mana yang mengandung unsur tersebut. Pihak USU juga tidak melakukan kajian akademik untuk mengukur apakah cerpen tersebut mengandung pornografi atau tidak.
“Kau dengar? Tidak akan ada laki-laki yang mau memasukkan barangnya ke tempatmu itu. Kau sungguh menjijikkan. Rahimmu akan tertutup. Percayalah sperma laki-laki manapun tidak tahan singgah terhadapmu,” kalimat tersebut dianggap terlalu vulgar serta terdapat unsur pornografi yang tidak sepantasnya dipublikasikan melalui SUARA USU.
Rektor USU juga mengatakan akan merekrut anggota baru untuk SUARA USU yang bisa menjalankan pers mahasiswa tersebut sesuai dengan visi-misi kampus. Sangat disayangkan karena jika demikian adanya, maka pers mahasiswa bukan lagi wadah untuk memberikan kritik terhadap permasalahan di universitas, melainkan sebagai wadah berita untuk pencitraan sebuah universitas.
Baiknya pemecatan anggota SUARA USU masih bisa dikaji ulang dan didiskusikan jika bisa dilakukan diskusi terbuka. Diskusi terbuka seharusnya dilakukan dengan banyak mahasiswa serta ahli sastra untuk membahas agar pengambilan keputusan tidak terkesan terburu-buru dan masih berdasarkan ilmu yang jelas. (Lia)
(sumber : persma.org/Merenungi Kasus Suara USU)
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS