Coretan Teknik

Mungkin Bumi Cendrawasih Lahir Ketika Tuhan Sedang Cemberut: Sebuah Esai Tentang Kemiskinan, Ketimpangan dan Kegagalan Memahami Masyarakat Papua – Bagian 3

Mungkin Bumi Cendrawasih Lahir Ketika Tuhan Sedang Cemberut: Sebuah Esai Tentang Kemiskinan, Ketimpangan dan Kegagalan Memahami Masyarakat Papua – Bagian 3

Ketimpangan Terhadap Akses Dan Kesempatan Yang Adil

Ada ketimpangan dalam memiliki akses, kesempatan serta manfaat pembangunan yang dialami masyarakat Papua.  Jika kita lakukan lagi analogi antara si anak miskin dan si anak kaya pada Papua dan Jawa maka kita kan mengingat kecenderungan si anak kaya yang menerima informasi mengenai suatu kesempatan memperoleh pendapatan (pekerjaan, penanaman modal, perdagangan, dll) yang lebih besar dari si miskin karena smartphone yang lebih canggih serta kuota internet lebih banyak. Ternyata kejadian ini juga yang terjadi sebener – benarnya pada Papua. UNICEF Papua Office melalui laporan Multidimensional Child Poverty in Papua: Empirical Evidence from 6 Districts  melakukan uji korelasi antar tiap dimensi kemiskinan anak pada rumah tangga yang memiliki anak di enam kabupaten yaitu Merauke, Kaimana, Manokwari, Jayawijaya, Sorong, dan Biak.

Uji korelasi yang dilakukan menguji hubungan dan pengaruh antar tiap dimensi kemiskinan berdasarkan data – data lapangan yang diperoleh di enam Kabupaten di Papua. Terdapat enam dimensi kemiskinan anak menurut Gordon et al (2003) yang juga dipakai sebagai jenis data dalam laporan tersebut diantaranya deprivasi air yang parah (hanya mengakses air permukaan), deprivasi kesehatan yang parah (sama sekali tidak pernah diberikan imunisasi dari penyakit apapun), deprivasi sanitasi yang parah (sama sekali tidak punya akses ke toilet), deprivasi pendidikan yang parah (anak usia tujuh sampai dengan 18 tahun yang sama sekali tidak pernah sekolah), deprivasi rumah tinggal yang parah (tinggal dalam ruangan yang berisi lebih dari lima orang per-ruangan), dan deprivasi informasi yang parah (sama sekali tidak punya akses terhadap radio, televisi atau alat komunikasi lain). Hasil dari uji korelasi itu adalah seluruh dimensi tersebut mempengaruhi satu dengan yang lain dengan dimensi deprivasi informasi yang parah paling banyak mempengaruhi dimensi lain. Hal ini menunjukan adanya kesulitan yang sangat besar terhadap akses informasi pada hal – hal yang vital dalam proses untuk keluar dari kondisi kemiskinan yang mengikat dan menuju kesejahteraan bagi masyarakat Papua, khususnya pada anak – anak.

Masyarakat Papua dan Orang Asli Papua akan sulit lepas dari jerat kemiskinan struktural apabila tidak menerima akses dan kesempatan memperoleh informasi yang layak. Papua takan pernah mengejar ketertinggalan start dari daerah – daerah lain di wilayah barat Indonesia apabila tidak mengerti apa yang harus mereka sendiri perbuat dalam pengentasan kemiskinan. Mereka tidak akan mengerti bagaimana menciptakan kondisi sanitasi yang baik pada lingkungannya akan menghindarkan dari berbagai macam penyakit yang dapat memberikan efek negatif proses pembelajaran dan pekerjaan. Hubungan masyarakat Papua dengan ‘dunia’ di luar kehidupan mereka juga menjadi terhambat sehingga pengetahuan menjadi semakin terbatas. Segala macam kondisi akses informasi di Papua menjadi lucu dan menimbulkan banyak pertanyaan apabila kita mengingat belakangan muncul berita bahwa Pemerintah Indonesia digugat bersalah karena telah melakukan pelambatan dan pemutusan terhadap akses internet serta telekomunikasi di wilayah Papua pada tahun 2019.

Jika kita menelisik lebih dalam, ketimpangan terhadap akses dan kesempatan terjadi juga dalam relasi antara laki – laki dan perempuan. Data menunjukan bahwa di Papua, anak perempuan lebih cepat 1,5 tahun untuk putus sekolah dibandingkan dengan anak laki – laki. Angka ini melebihi rata – rata nasional yaitu perempuan lebih cepat setengah tahun untuk putus sekolah. Laporan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak  bahkan menyatakan bahwa provinsi Papua menjadi provinsi dengan angka melek huruf perempuan 15 tahun ke atas yang terendah dengan angka 71,26%.

Adanya ketimpangan gender ini menunjukan bahwa kesempatan memperoleh pendidikan di Papua juga masih sangat terbatas khususnya bagi perempuan. Namun tidak bisa dipungkiri kalau juga terdapat faktor kultur masyarakat Papua sendiri. Dalam konstruksi norma adat dan praktik sosial dalam kehidupan sehari-hari di Papua, dapat dikatakan bahwa perempuan umumnya ditempatkan sebagai subordinat dari laki-laki. Keadaan semacam ini ditemukan tidak hanya di kalangan perempuan pada daerah dataran rendah, tetapi juga di kawasan pegunungan . Hal ini tentu saja berdampak pada kondisi ekonomi rumah tangga yang tidak dapat meningkatkan taraf hidupnya dengan maksimal akibat masih sangat minimnya tingkat pendidikan bagi perempuan.

Penulis: Valian Aulia P

Click to add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Coretan Teknik

More in Coretan Teknik

Mahasiswa KKN UNDIP Buatkan Booklet Rumah Sehat dan Peningkatan Kualitas RTLH untuk RW 01 Kelurahan Wonoplumbon

adminFebruary 15, 2022

Mahasiswi KKN Undip Lakukan Pendampingan Kepada Masyarakat “Kerajaan” Mengenai Bagaimana Menciptakan Penghawaan Ruang Rumah Yang Sehat

adminFebruary 15, 2022

Mahasiswa KKN Tim I Undip Melakukan Pendampingan Mengenai Pentingnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Kebakaran Dalam Rumah Tangga

adminFebruary 15, 2022

Produk Pangan Hasil Ekstraksi Pektin dari Kulit Jeruk Manis (Citrus sinensis)

adminNovember 1, 2021

Tingkatkan Kesiapsiagaan Bencana, Tim PKM Undip Ciptakan Peta Jangkauan Tsunami

adminAugust 28, 2021

Pembuatan Superhidrophilik Membran sebagai Alternatif Pengolahan Limbah Berminyak

adminAugust 20, 2021