Semarang, Momentum – Undip Aman Kekerasan Seksual (KS) menggelar konferensi pers terkait penyerahan Amicus Curiae ke Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara kasasi dengan Nomor Surat Pengiriman Berkas Kasasi WA.U1/2382/HK.01/IV/2022 atas nama termohon Dr. Syafri Harto, M.Si. bin Agus Salim pada Senin (4/07). Konferensi pers tersebut dilaksanakan secara daring melalui Zoom Cloud Meeting pada pukul 13.00 – 14.20 WIB sebagai pernyataan bahwa Undip Aman KS telah menyerahkan Amicus Curiae yang diterima oleh Angel Firstia Kresna, S.H., M.Kn. selaku Hakim Yustisial pada Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Amicus Curiae atau sahabat pengadilan yang disusun oleh Undip Aman KS adalah bentuk inisiatif penyampaian pendapat pada pengadilan terhadap penyelesaian perkara kasasi kasus dengan termohon Dr. Syafri Harto, M.Si. bin Agus Salim. Pengajuan ini merupakan upaya Undip Aman KS dalam membantu memberikan perspektif lain kepada majelis hakim dalam memutus perkara yang sedang diperiksa. Dimana dalam kasus ini terdakwa yang kini merupakan Dekan nonaktif FISIP Universitas Riau dinyatakan tidak bersalah dan bebas dari segala hukuman pada peradilan tingkat satu. “Pada kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual bukti yang terkuat justru bukti petunjuk yaitu sesuaian antara saksi korban dengan keterangan ahli. Walaupun dalam putusan hakim menyatakan bahwa pelaku tidak terbukti bersalah, bukan berarti penanganan administratifnya tidak bisa dilakukan”, ujar Dr. Chatarina Muliana, Inspektur Jenderal Kemendikbud Ristek RI.
Salah satu pokok bahasan dalam Amicus Curiae terkait pentingnya mempertimbangkan alat bukti keterangan ahli dan petunjuk dalam kasus kekerasan seksual. Dalam hal ini terdapat satu alat bukti yaitu berupa keterangan saksi yang didukung oleh keterangan ahli baik itu dari tes psikologis yang dilakukan terhadap korban yang menunjukkan terdapat indikasi besar terjadi kasus kekerasan seksual dan juga tes kejujuran terhadap terdakwa yang mengindikasikan bahwa terdakwa memang berbohong. Namun, hal ini menunjukkan pembuktian yang diatur dalam Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHP) belum bisa ramah terhadap korban karena terdapat ketentuan minimal harus ada dua alat bukti untuk seseorang dikatakan bersalah. “Undip Aman KS mencoba memberikan perspektif bahwasanya dalam kasus kekerasan seksual ada beberapa hal lain yang harus diakomodir karena berbeda dengan kasus kejahatan lain dan perlu juga memperhatikan perspektif HAM”, terang Nadya, salah satu penyusun Amicus Curiae.
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa hadirnya Amicus Curiae ini bukanlah sebagai sebuah bentuk intervensi terhadap kebebasan Majelis Hakim dalam memutus suatu perkara. Namun, maksud dan tujuan dari Amicus Curiae adalah untuk membantu Majelis Hakim dalam memeriksa, mempertimbangkan dan memutus suatu perkara di pengadilan. ‘Keterlibatan’ pihak yang berkepentingan dalam sebuah kasus ini hanya sebatas memberikan opini, bukan melakukan intervensi atas proses peradilan.
Penulis: Ghina
Editor: Anggi
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS