Penulis : Ranisa Rahma Setiabudi, Zoya Zahira Zahranisa
Editor : Laylin
Semarang, Momentum – Tak bisa dipungkiri, generasi kita harus menghadapi krisis terbesar dunia yaitu krisis iklim. Krisis ini terjadi karena perubahan iklim yang semakin tak menentu. Penyebab utama perubahan iklim adalah gas rumah kaca yang dihasilkan oleh kegiatan manusia yang melepaskan emisi ke udara, seperti penggundulan hutan, hingga pembakaran fosil. Kegiatan tersebut menyebabkan suhu rata-rata bumi semakin meningkat dalam jangka waktu lama, dikarenakan gas rumah kaca yang terjebak di stratosfer.
Perlu diketahui bahwa krisis iklim, perubahan iklim, dan pemanasan global merujuk pada fenomena yang sama. Secara general semua fenomena tersebut disebut sebagai pemanasan global, namun istilah ini kemudian dijabarkan menjadi perubahan iklim karena harapannya masyarakat dapat terfokus dengan dampak negatif iklim. Baru-baru ini, sebagian besar platform mulai mengganti istilah “perubahan iklim” menjadi “krisis iklim”, “darurat iklim”, dan “kerusakan iklim” dikarenakan keadaan iklim yang semakin genting.
Menurut IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), diprediksikan dengan emisi dunia saat ini, dapat menyebabkan suhu bumi meningkat sebanyak 1,5 derajat di tahun 2100. Sedangkan beberapa ilmuwan iklim, memperkirakan suhu bumi meningkat mulai dari 2 derajat sampai di atas 4 derajat celcius pada tahun 2100. Efek domino dari meningkatnya suhu bumi yaitu mencairnya es kutub, hingga berdampak pada kelangsungan hidup manusia. Tentu krisis iklim ini tidak boleh dianggap remeh.
Apabila manusia tidak melakukan upaya apapun untuk mengurangi krisis iklim, tentu bencana akan semakin sering terjadi. Tak hanya itu, berbagai virus dan penyakit akan lebih cepat menyebar di suhu yang panas, terutama penyakit tropik. Tentunya kekeringan dan kekurangan air akan terjadi di seluruh dunia, dan hal ini akan menimbulkan terjadinya migrasi jutaan orang. Krisis iklim di masa depan akan menimbulkan krisis migrasi, bersamaan dengan konflik ras, suku, agama, dan kelompok tertentu akan semakin marak karena sumber daya yang kian menipis.
Tidak hanya itu bahkan krisis iklim ini, juga menimbulkan dampak yang dapat mengancam anak-anak yang ada di Indonesia baik dari segi kesehatan, pendidikan, dan juga perlindungan mereka sendiri. Menurut laporan terbaru yang dikeluarkan oleh UNICEF, yaitu ‘The Climate Crisis Is a Child Rights Crisis: Introducing the Children’s Climate Risk Index’ menyatakan bahwa anak-anak Indonesia berada di peringkat 46 yang memiliki resiko tinggi terpapar krisis iklim. Fakta tersebut tentu sangat mengkhawatirkan generasi penerus bangsa kita selanjutnya.
Sebelum semua dampak tersebut semakin memburuk, kita masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki krisis iklim ini. Secara garis besar, terdapat dua macam aksi yang dapat kita lakukan, yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi merupakan upaya mengurangi emisi, contohnya mulai menggunakan transportasi tanpa bahan bakar, mengurangi penggunaan plastik, dan penghijauan. Sedangkan adaptasi adalah kesiapan kita terhadap dampak krisis iklim yang sudah terjadi.
Sebagai generasi muda penerus bangsa tentu kita turut andil dalam melakukan sesuatu untuk menanggulangi krisis iklim ini. Di mulai dari hal-hal kecil yang bisa kita lakukan sehari-hari. Misalnya dengan mencoba membiasakan jalan kaki atau menggunakan transportasi yang lebih ramah lingkungan untuk berpergian. Dengan adanya sosial media kita juga dapat memanfaatkan sebagai wadah mengajak banyak orang untuk lebih sadar dan peduli dan bersama-sama melakukan upaya untuk mengatasi masalah krisis global ini.
SUMBER
KRISIS IKLIM. (n.d.). Retrieved from https://krisisiklim.com/tentang/
News, U. C. (n.d.). Sekilas tentang Perubahan Iklim – Climate Change at a Glance. Retrieved from https://unfccc.int/files/meetings/cop_13/press/application/pdf/sekilas_tentang_perubahan_iklim.pdf
The Intergovernmental Panel on Climate Change . (n.d.). Retrieved from https://www.ipcc.ch/
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS